Selasa, 23 September 2014

Mungkin Tak Dianggap :)

Bagaimana rasanya saat kamu merasa tak dianggap?
Menyakitkan! Mungkin terdengar berlebihan, tapi itulah kenyataan rasa yang dialami.
Saya ingin berbagi tentang  rasa ini.
Saya bergabung dengan salah satu perusahaan swasta yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit. Tiga tahun disini yang saya kerjakan hanya begitu-gitu saja. Sebenarnya itu tidak terlalu masalah, kita memang sudah biasa dihadapkan pada sesuatu yang monoton. Hanya saja yang membuat saya sedih adalah selama tiga tahun saya bergabung, ternyata saya masih belum dipercaya mengerjakan pekerjaan lebih dari sekedar pekerjaan kasir. Mungkin memang saya tidak berpengalaman dibidang ini, tapi setidaknya berikan saya kepercayaan lebih. Setiap ada meeting pun saya jarang terlibat, justru memadukkan orang baru, dan lebih diberi kepercayaan, mungkin karena ia lebih berpengalaman dibidang ini. 
Tapi apa saya tidak punya kesempatan lebih, saya juga ingin berkembang, ingin tambah ilmu, apa saya hanya harus jadi pelengkap saja?
Seperti yang sedang tren saat ini "sakitnys tuh disini" (nunjuk dada). Yaaa saya merasakan itu, selama ini ternyata tidak ada kepercayaan untuk saya....
Yaaa mungkin saya dianggap tidak akan pernah mampu menerima beban kepercayaan itu.
Tak apa... disyukuri saja apa yang saya petoleh saat ini, dinikmati... dan tetap berharap Allah SWT akan memberikan saya jalan yang terbaik... Semoga saya bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih dari disini. Saya tetap bersyukur, karna setidaknya saya memperoleh ilmu dari sini, dan semoga bisa saya terapkan di kemudian hari... Aamiin YRA... O:)

Minggu, 21 September 2014

210914 (Nyoba ngeksis nulis lagiii...) ;)

Lama gak nulis di blog ini, sempet lupa juga kalo ternyata saya punya blog. Kedengeran konyol sih yaaa, tapi beneran lupa lhoo sayanyaaa. Hahahaaa... keinget lagi gegara perkuliahan sabtu 20 sept'14 kemaren, dosen mata kuliah 'menulis kreatif' kasih tugas bikin blog, jadi baru ketengok lagi deh... :D
Perkuliahan semester 7 ini lumayan berat, selain kelas dimulai dari jam 3-9 malem (maklum ekstensi) jadi hawanya udah ngantuk2 gimanaaa gituu (malem bin dingin ;p ), semester ini pun saya sudah harus mempersiapkan materi yang mau saya jadikan sebagai bahan skripsi di semester akhir nanti. Jujur udah ada pandangan mau bikin pake metode penelitian apa, tapi masih bingung pemaparannya... Hiiks..Hiikss....
Udah gak bisa main-main lagi nih,,, udah ga bisa lagi full fokus ma game Hay Day :)))
Gak papa deh levelnya gak naik-naik, yang penting bisa lulus tepat waktu... Aamiin O:)
Harapan LULUS dengan hasil yang gak biasa-biasa aja... KeepSpirittt....
Ganbatte... yyeeeeaaaaa..... ;) :*

Minggu, 06 November 2011

S E M A N T I K


1.     DEFINISI
Kata semantik berasal dari bahasa Yunani sema yang artinya tanda atau lambang (sign). “Semantik” pertama kali digunakan oleh seorang filolog Perancis bernama Michel Breal pada tahun 1883. Kata semantik kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari tentang tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Oleh karena itu, kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa: fonologi, gramatika, dan semantik (Abdul Chaer, 1994: 2).
Dalam analisis semantik juga harus disadari, karena bahasa itu bersifat unik, dan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan masalah budaya maka, analisis suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja, tetapi tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa lain. Umpamanya, kata ikan dalam bahasa Indonesia merujuk pada jenis binatang yang hidup dalam air dan biasa dimakan sebagai lauk; dan dalam bahasa Inggris separan dengan fish. Tetapi kata iwak dalam bahasa Jawa bukan hanya berarti ‘ikan’ atau ‘fish’, melainkan juga berarti daging yang digunakan sebagai lauk.

2.     HAKIKAT  MAKNA
Menurut teori yang dikembangkan dari pandangan Ferdinand de Saussure, makna adalah ‘pengertian’ atau ‘konsep’ yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda-linguistik. Menurut de Saussure, setiap tanda linguistik terdiri dari dua unsur, yaitu (1) yang diartikan dan (2) yang mengartikan.
Yang diartikan sebenarnya tidak lain dari pada konsep atau makna dari sesuatu tanda-bunyi. Sedangkan yang mengartikan adalah bunyi-bunyi yang terbentuk dari fonem-fonem bahasa yang bersangkutan. Dengan kata lain, setiap tanda-linguistik terdiri dari unsur bunyi dan unsur makna. Kedua unsur ini adalah unsur dalam bahasa (intralingual) yang biasanya merujuk atau mengacu kepada sesuatu referen yang merupakan unsur luar-bahasa (ekstralingual).
Sebuah kata, misalnya buku, terdiri atas unsur lambang bunyi yaitu [b-u-k-u] dan konsep atau citra mental benda-benda (objek) yang dinamakan buku. Menurut Ogden dan Richards (1923), dalam  karya klasik tentang “teori semantik segi tiga” , kaitan antara lambang, citra mental atau konsep, dan referen atau objek dapat dijelaskan dengan gambar dan uraian sebagai berikut:


Makna kata buku adalah konsep buku yang tersimpan dalam otak kita dan dilambangkan dengan kata buku. Gambar di atas menunjukkan bahwa di antara lambang bahasa dan konsep terdapat hubungan langsung, sedangkan lambang bahasa dengan referen atau objeknya tidak berhubungan langsung (digambarkan dengan garis putus-putus) karena harus melalui konsep. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa semantik mengkaji makna tanda bahasa, yaitu kaitan antara konsep dan tanda bahasa yang melambangkannya.

3.     JENIS  MAKNA
Menurut Abdul Chaer (1994), makna dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria dan sudut pandang.

3.1  Berdasarkan jenis semantiknya, dapat dibedakan menjadi :
Makna Leksikal dan Makna Gramatikal
Makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita (Abdul Chaer, 1994). Umpamanya kata “tikus” makna leksikalnya adalah sebangsa binatang pengerat yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit tifus. Makna ini tampak jelas dalam kalimat Tikus itu mati diterkam kucing, atau Panen kali ini gagal akibat serangan hama tikus.

Makna leksikal biasanya dipertentangkan dengan makna gramatikal. Kalau makna leksikal berkenaan dengan makna leksem (satuan bentuk bahasa yang bermakna) atau kata yang sesuai dengan referennya, maka makna gramatikal ini adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses gramatika seperti proses afiksasi, proses reduplikasi, dan proses komposisi (Abdul Chaer, 1994). Proses afiksasi awalan ter- pada kata angkat dalam kalimat Batu seberat itu terangkat juga oleh adik, melahirkan makna ’dapat’, dan dalam kalimat Ketika balok itu ditarik, papan itu terangkat ke atas melahirkan makna gramatikal ’tidak sengaja’.

3.2  Berdasarkan ada atau tidaknya referen pada sebuah kata atau leksem dapat dibedakan  menjadi :
Makna Referensial dan Nonreferensial
Perbedaan makna referensial dan makna nonreferensial berdasarkan ada tidak referen dari kata-kata itu. Bila kata-kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu di luar bahasa yang diacu oleh kata itu, maka kata tersebut disebut  kata bermakna referensial. Kalau kata-kata itu tidak mempunyai referen, maka kata itu disebut dengan kata bermakna nonreferensial. Kata meja termasuk kata yang bermakna referensial karena mempunyai referen, yaitu sejenis perabot rumah tangga yang disebut ’meja’. Sebaliknya kata karena tidak mempunyai referen, jadi kata karena termasuk kata yang bermakna nonreferensial.
Dari penjelasan tersebut, maka dapat kita ambil kesimpulan bahwa makna referensial contohnya adalah benda-benda konkret (berwujud), sedangkan untuk contoh makna non-referensial adalah kata-kata yang tidak memiliki referen (gambaran).

3.3  Berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata/leksem dapat dibedakan adanya :
Makna Denotatif dan Konotatif
Makna denotatif  pada dasarnya sama dengan makna referensial sebab makna denotatif  lazim diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman  lainnya. Jadi, makna denotatif ini menyangkut informasi-informasi faktual objektif. Oleh karena itu, makna denotasi sering disebut sebagai ‘makna sebenarnya’ (Abdul Chaer, 1994). Umpama kata perempuan  dan  wanita kedua kata itu mempunyai dua makna yang sama, yaitu ‘manusia dewasa bukan laki-laki’.

Sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata itu mempunyai “nilai rasa”, baik positif maupun negatif. Jika tidak memiliki nilai rasa maka dikatakan tidak memiliki konotasi. Tetapi dapat juga disebut berkonotasi netral. Makna konotatif dapat juga berubah dari waktu ke waktu. Misalnya kata ‘ceramah’ dulu kata ini berkonotasi negatif karena berarti ‘cerewet’, tetapi sekarang konotasinya positif.
Contoh lain adalah kata kurus, ramping dan kerempeng (Abdul Chaer 2007). Pada dasarnya ketiga kata tersebut secara denotatif mempunyai makna yang sama atau bersinonim, tetapi ketiganya memiliki konotasi yang tidak sama; kurus berkonotasi netral, ramping berkonotasi positif, dan kerempeng berkonotasi negatif.

3.4  Berdasarkan ketepatan maknanya dikenal dengan :
Makna Kata dan Makna Istilah (Makna Umum dan Makna Khusus)
Setiap kata atau leksem memiliki makna, namun dalam penggunaannya makna kata itu baru menjadi jelas kalau kata itu sudah berada di dalam konteks kalimatnya atau konteks situasinya. Berbeda dengan kata, istilah mempunyai makna yang jelas, yang pasti, yang tidak meragukan, meskipun tanpa konteks kalimat. Oleh karena itu sering dikatakan bahwa istilah itu bebas konteks. Hanya perlu diingat bahwa sebuah istilah hanya digunakan pada bidang keilmuan atau kegiatan tertentu. Perbedaan antara makna kata dan istilah dapat dilihat dari contoh berikut :
(1) Tangannya luka kena pecahan kaca.
(2) Lengannya luka kena pecahan kaca.
Kata tangan dan lengan pada kedua kalimat di atas adalah bersinonim atau bermakna sama. Namun dalam bidang kedokteran kedua kata itu memiliki makna yang berbeda. (1) Tangan  bermakna bagian dari pergelangan sampai ke jari tangan, sedangkan (2) lengan adalah bagian dari pergelangan sampai ke pangkal bahu.
Contoh lain adalah kuping dan telinga (Abdul Chaer 2007). Dalam bahasa umum kedua kata itu merupakan dua kata yang bersinonim, dan oleh karena itu sering dipertukarkan. Tetapi sebagai istilah dalam bidang kedokteran keduanya memiliki makna yang tidak sama : kuping adalah bagian yang terletak di luar, termasuk daun telinga; sedangkan telinga adalah bagian sebelah dalam. Maka itu, yang biasanya diobati oleh dokter adalah telinga bukan kuping.


3.5  Berdasarkan kriteri lain atau sudut pandang lain dapat disebutkan adanya :
3.5.1  Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Leech (1976) membagi makna menjadi makna konseptual dan makna asosiatif. Yang dimaksud dengan makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari konteks atau asosiasi apa pun. Kata kuda memiliki makna konseptual ‘sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai’. Jadi makna konseptual sesungguhnya sama saja dengan makna leksikal, makna denotatif, dan makna referensial.

Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang berada di luar bahasa. Misalnya, kata melati berasosiasi dengan sesuatu yang ‘suci’ atau ‘kesucian’; kata merah berasosiasi dengan ‘berani’ atau juga ‘paham komunis’.
3.5.2  Makna Idiomatikal dan Peribahasa
Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat ”diramalkan” dari makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Contoh dari idiom adalah bentuk membanting tulang dengan makna ’bekerja keras’, meja hijau dengan makna ’pengadilan’.

Berbeda dengan idiom, peribahasa memiliki makna yang masih dapat ditelusuri atau dilacak dari makna unsur-unsurnya karena adanya “asosiasi” antara makna asli dengan maknanya sebagai peribahasa. Umpamanya peribahasa  Seperti anjing dengan kucing yang bermakna ‘dikatakan ihwal dua orang yang tidak pernah akur’. Makna ini memiliki asosiasi, bahwa binatang yang namanya anjing dan kucing jika bersua memang selalu berkelahi, tidak pernah damai.
3.5.2  Makna Kias
Dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan istilah arti kiasan digunakan sebagai oposisi dari arti sebenarnya. Oleh karena itu, semua bentuk bahasa (baik kata, frase, atau kalimat) yang tidak merujuk pada arti sebenarnya (arti leksikal, arti konseptual, atau arti denotatif) disebut mempunyai arti kiasan. Jadi, bentuk-bentuk seperti puteri malam dalam arti ’bulan’, raja siang dalam arti ’matahari’. Dan menurut Kamus Bahasa Indonesia Online (http://kamusbahasaindonesia.org) Kias memiliki arti [n] (1) perbandingan (persamaan); ibarat; contoh analogi: kata ‘pemuda-pemudi’ sebenarnya mengambil kata ‘putra-putri’.

4.     RELASI  MAKNA
Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa lainnya.
Berikut ini diuraikan beberapa wujud relasi makna :
4.1  Sinonim
Secara semantik Verhaar (1978) mendefinisikan sinonimi sebagai ungkapan (bisa berupa kata, frase, atau kalimat) yang maknanuya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain. Umpamanya kata buruk dan jelek adalah du buah kata yang bersinonim; bunga, kembang, dan puspa adalah tiga kata yang yang bersinonim. Hubungan makna antara dua buah kata yang bersinonim bersifat dua arah. Namun, dua buah kata yang bersinonim itu; kesamaannya tidak seratus persen, hanya kurang lebih saja. Kesamaannya tidak bersifat mutlak.
Contoh lain (Abdul Chaer 2007)





 Relasi sinonim diatas bersifat dua arah. Maksudnya, kalau satu satuan ujaran A bersinonim dengan satuan ujaran B, maka satuan ujaran B itu bersinonim dengan satuan ujaran A. Secara konkret kalau kata betul bersinonim dengan kata benar, maka kata benar itu pun bersinonim dengan kata betul.

4.2  Antonim
Secara semantik Verhaar (1978) mendefenisikan antonimi sebagai: Ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi dapat pula dalam bentuk frase atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain. Misalnya kata bagus yang berantonimi dengan kata buruk ; kata besar berantonimi dengan kata kecil.

Sama halnya dengan sinonim, antonim pun tidak bersifat mutlak. Itulah sebabnya dalam batasan di atas, Verhaar menyatakan “…yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain” Jadi, hanya dianggap kebalikan. Bukan mutlak berlawanan.
Sehubungan dengan ini banyak pula yang menyebutnya oposisi makna. Dengan istilah oposisi, maka bisa tercakup dari konsep yang betul-betul berlawanan sampai kepada yang bersifat kontras saja. Kata hidup dan mati, mungkin bisa menjadi contoh yang berlawanan; tetapi hitam dan putih mungkin merupakan contoh yang hanya berkontras.
Contoh lain (Abdul Chaer 2007); kata berdiri berantonim dengan kata duduk, tidur, tiarap, jongkok, bersila.

4.3  Homonimi, Homofoni, dan Homografi
Homonimi adalah dua buah kata atau satuan ujaran yang bentuknya “kebetulan” sama, tetapi memiliki makna yang berbeda. Contohnya adalah kata bisa yang berarti ‘racun ular’ dan kata bisa yang berarti ‘sanggup’.

Homofoni adalah adanya kesamaan bunyi (fon) antara dua satuan ujaran, tanpa memperhatikan ejaanya, apakah ejaanya sama ataukah berbeda. Contoh dalam kata bank ‘lembaga keuangan’ kata bang (bentuk singkatan dari abang) yang bermakna ‘kakak laki-laki’.

Dan homograf adalah kata-kata yang ditulis sama, tetapi memiliki makna yang berbeda. Contohnya pada kata tahu ‘makanan’ dengan kata tahu yang berarti ‘paham’.

4.4  Hiponimi dan Hipernimi
Hiponimi adalah ‘relasi makna yang berkaitan dengan peliputan makna spesifik dalam makna generis’; seperti makna anggrek dalam makna bunga, makna kucing dalam makna binatang. Anggrek, mawar, dan tulip berhiponimi dengan bunga; sedangkan kucing, kambing, dan kuda berhiponimi dengan binatang.  Bunga merupakan superordinat (hipernimi, hiperonim) bagi anggrek, mawar, dan tulip, sedangkan binatang menjadi superordinat bagi kucing, kambing, dan kuda.

4.5  Polisemi
Polisemi lazim diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga frase) yang memiliki makna lebih dari satu. Umpamanya kata kepala dalam bahasa Indonesia memiliki makna (1) bagian tubuh dari leher ke atas; (2) bagian dari suatu yang terletak disebelah atas atau depan merupakan hal yang penting atau terutama seperti pada kepala susu, kepala meja, dan kepala kereta api;
(3) bagian dari suatu yang berbentuk bulat seperti kepala, seperti pada kepala paku dan kepala jarum; (4) pemimpin atau ketua seperti pada kepala sekolah, kepala kantor, dan kepala stasiun; (5) jiwa atau orang seperti dalam kalimat Setiap kepala menerima bantuan Rp 5000,-.; dan (6) akal budi seperti dalam kalimat, Badannya besar tetapi kepalanya kosong.

4.6  Ambiguitas atau Ketaksaan
Ambiguitas atau ketaksaan sering diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua arti. Kegandaan makna dalam ambiguitas berasal dari satuan gramatikal yang lebih besar, yaitu frase atau kalimat dan terjadi sebagai akibat penafsiran struktur gramatikal yang berbeda. Umpamanya frase buku sejarah baru dapat ditafsirkan sebagai (1) buku sejarah itu baru terbit, (2) buku itu berisi sejarah zaman baru.

4.7  Redundansi
Istilah redundansi sering diartikan sebagai ‘berlebih-lebihan pemakaian unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran’. Umpamanya kalimat Bola ditendang Si Badrih, maknanya tidak akan berubah bila dikatakan Bola ditendang oleh Si Badrih. Pemakaian kata ‘oleh’ pada kalimat kedua dianggap sebagai sesuatu yang redundansi, yang berlebih-lebihan dan sebenarnya tidak perlu.

4.8  Meronimi
Meronimi adalah ’relasi makna yang memiliki kemiripan dengan hiponimi karena relasi maknanya bersifat hierarkis, namun tidak menyiratkan pelibatan searah, tetapi merupakan relasi makna bagian dengan keseluruhan’. Contohnya adalah atap bermeronimi dengan rumah.

4.9  Makna Asosiatif
Makna asosiatif merupakan asosiasi yang muncul dalam benak seseorang jika mendengar kata tertentu. Asosiasi ini dipengaruhi unsur-unsur psikis, pengetahuan dan pengalaman seseorang. Oleh karena itu, makna asosiatif terutama dikaji bidang psikolinguistik. Makna denotatif villa adalah ’rumah peristirahatan di luar kota’. Selain makna denotatif  itu, bagi kebanyakan orang Indonesia villa juga mengandung makna asosiatif  ’gunung’, ’alam’, ’pedesaan’, ’sungai’, bergantung pada pengalaman seseorang.

4.10  Makna Afektif
Makna afektif berkaitan dengan perasaan seseorang jika mendengar atau membaca kata tertentu. Perasaan yang muncul dapat positif atau negatif. Kata jujur, rendah hati, dan bijaksana menimbulkan makna afektif yang positif, sedangkan korupsi dan kolusi menimbulkan makna afektif  yang negatif.


4.11  Makna Etimologis
Makna etimologis berbeda dengan makna leksikal karena berkaitan dengan asal-usul kata dan perubahan makna kata dilihat dari aspek sejarah kata. Makna etimologis suatu kata mencerminkan perubahan yang terjadi dengan kata tertentu. Melalui perubahan makna kata, dapat ditelusuri perubahan nilai, norma, keadaan sosial-politik, dan keadaan ekonomi suatu masyarakat.


5.     PERUBAHAN  MAKNA
Makna sebuah kata atau leksem tidak akan beribah, tetapi secara daikronis ada kemungkinan dapat berubah. Maksudnya, dalam masa yang relatif singkat, makna sebuah kata akan tetap sama. Dan ini tidak berlaku untuk semua kosa kata yang terdapat dalam sebuah bahasa, melainkan hanya terjadi pada sejumlah kata saja yang disebabkan oleh faktor :
1.      Perkembangan dalam bidang ilmu dan teknologi
Umpamanya kata sastra, pada mulanya bermakna ‘tulisan, huruf’; lalu berubah menjadi bermakna ‘bacaan’; kemudian berubah lagi menjadi bermakna ‘buku yang baik isinya dan baik pula bahasanya’.
2.      Perkembangan sosial budaya
Misalnya kata saudara, pada mulanya berarti ‘seperut’ atau ‘orang yang lahir dari kandungan yang sama’, tetapi kini digunakan untuk ‘menyebut orang lain sebagai kata sapaan yang diperkirakan sederajat baik usia maupun kedudukan sosial’.
3.      Perkembangan pemakaian kata
Umpamanya kata menggarap dari bidang pertanian (dengan segala bentuk derivasinya, seperti garapan, penggarap, tergarap, dan penggarapan) digunakan juga dalam bidang lain dengan makna’mengerjakan atau membuat’.
4.      Pertukaran Tanggapan Indra
Misalnya, rasa pedas yang seharusnya ditanggap oleh alat indra perasa lidah menjadi ditanggap oleh alat pendengar telinga, seperti dalam ujaran kata-katanya sangat pedas.
5.      Pertukaran Asosiasi atau Adanya Asosiasi
Contohnya adalah kata amplop. Makna amplop sebenarnya adalah sampul surat, tetapi dalam kalimat ‘Supaya urusan cepat beres, beri saja amplop’, amplop disini bermakna ‘uang sogok’.
Macam-macam perubahan makna :
1.      Perubahan yang meluas
Contoh : kata baju, pada mulanya bermakna ‘pakaian sebelah atas dari pinggang sampai ke bahu’, tetapi dalam kalimat ‘Murid-murid itu memakai baju seragam’, yang dimaksud bukan hanya baju, tetapi juga celana, sepatu, dasi, dan topi.
2.      Perubahan yang menyempit
Contoh : kata sarjana, pada mulanya bermakna ‘orang cerdik, pandai’, tetapi kini hanya bermakna ‘lulusan perguruan tinggi’ saja.
3.      Perubahan makna secara total
Contoh : kata pena, pada mulanya berarti ‘bulu angsa’, tetapi kini hanya bermakna ‘alat tulis bertinta’.

6.     MEDAN MAKNA DAN KOMPONEN MAKNA

1.     Medan Makna
Medan makna adalah seperangkat unsur lesikal yang maknanya saling berhubungan karena menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu. Misalnya nama-nama warna, dalam medan warna dalam bahasa Indonesia mengenal nama merah, biru, kuning, hijau, biru, dsb. Untuk menyatakan nuansa warna yang berbeda dalam bahasa Indonesia memberi keterangan perbandingan, seperti merah darah, merah bata, dan merah jambu.
2.      Komponen Makna
Komponen Makna, pendekatan ini didasarkan kepada kepercayaan bahwa makna kata dapat dipecah-pecah menjadi elemen-elemen. Dan elemen-elemen itu disebut dengan komponen makna. Biasanya disajikan dengan cara memberi tanda ( + ) yang berarti memiliki komponen makna tersebut, dan tanda ( - ) berarti tidak memiliki makna tersebut.
Agar lebih jelas, dapat kita lihat pada bagan berikut :
Komponen Makna
Gadis
Jejaka
Bernyawa
+
+
Manusia
+
+
Kawin
-
-
Pria
-
+

Selasa, 30 Agustus 2011

:)(: Makna CINTA :)(:

Sebenarnya apa sih makna CINTA yang sesungguhnya???
Terlalu banyak persepsi tentang CINTA....
dan terlalu banyak definisi yang ditimbulkan karenanya....
Yang pasti Cinta itu bikin kita bahagia, senang, Namun terkadang Cinta juga bisa bikin kita sedih, kecewa bahkan mungkin sampai terpuruk oleh keadaan karenanya....
Ironis yaaa.... Kata yang sangat indah & bermakna luas, namun memiliki dampak yang negatif juga....
Pada dasarnya sih tergantung individunya... Sejauh mana kita bisa menempatkan posisi Cinta dengan tepat....
Yang terpenting adalah menCINTAi seseorang dengan mengharap Ridho Illahi, agar kita mendapat restu dari-NYA & hubungan yang terjalin berdasarkan Cinta yang sesungguhnya, yaitu Cinta yang benar-benar d'turunkan ke hati kita oleh-NYA, bukan oleh nafsu semata... :)
Dan yang teramat sangat penting ialah Mencintai seseorang tidak melebihi rasa Cinta kita kepada Sang Pencipta....
Cinta kepada sesama dapat pudar seiring berjalannya waktu, dan kita dapat merasa tersakiti & dikecewakan oleh nya, tapi Cinta kepada Illahi bersifat abadi & kekal, dan DIA tak pernah mengecewakan bahkan sampai menyakiti, Tak akan pernah!!!!
Cintailah Tuhan mu d'atas Cinta mu kepada Ibu-Bapak mu, karena dengan begitu kita akan menyayangi Ibu-Bapak kita demi mengharap Cinta dari Sang Illahi...
Dan Cintailah Kekasih mu d'bawah Cinta Ibu-Bapak  mu.... (Silahkan ambil kesimpulan sendiri tentang kalimat ini... ;p )


Have a nice day....


~Selamat Menyambut Hari Nan Fitri... Semoga kita semua kembali ke fitrah-NYA...  Aamiin Ya Robbal Alaamiin..  :) ~