Bagaimana rasanya saat kamu merasa tak dianggap?
Menyakitkan! Mungkin terdengar berlebihan, tapi itulah kenyataan rasa yang dialami.
Saya ingin berbagi tentang rasa ini.
Saya bergabung dengan salah satu perusahaan swasta yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit. Tiga tahun disini yang saya kerjakan hanya begitu-gitu saja. Sebenarnya itu tidak terlalu masalah, kita memang sudah biasa dihadapkan pada sesuatu yang monoton. Hanya saja yang membuat saya sedih adalah selama tiga tahun saya bergabung, ternyata saya masih belum dipercaya mengerjakan pekerjaan lebih dari sekedar pekerjaan kasir. Mungkin memang saya tidak berpengalaman dibidang ini, tapi setidaknya berikan saya kepercayaan lebih. Setiap ada meeting pun saya jarang terlibat, justru memadukkan orang baru, dan lebih diberi kepercayaan, mungkin karena ia lebih berpengalaman dibidang ini.
Tapi apa saya tidak punya kesempatan lebih, saya juga ingin berkembang, ingin tambah ilmu, apa saya hanya harus jadi pelengkap saja?
Seperti yang sedang tren saat ini "sakitnys tuh disini" (nunjuk dada). Yaaa saya merasakan itu, selama ini ternyata tidak ada kepercayaan untuk saya....
Yaaa mungkin saya dianggap tidak akan pernah mampu menerima beban kepercayaan itu.
Tak apa... disyukuri saja apa yang saya petoleh saat ini, dinikmati... dan tetap berharap Allah SWT akan memberikan saya jalan yang terbaik... Semoga saya bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih dari disini. Saya tetap bersyukur, karna setidaknya saya memperoleh ilmu dari sini, dan semoga bisa saya terapkan di kemudian hari... Aamiin YRA... O:)
Nhey Marlyena
My Heart 'n' My Life
Selasa, 23 September 2014
Minggu, 21 September 2014
210914 (Nyoba ngeksis nulis lagiii...) ;)
Lama gak nulis di blog ini, sempet lupa juga kalo ternyata saya punya blog. Kedengeran konyol sih yaaa, tapi beneran lupa lhoo sayanyaaa. Hahahaaa... keinget lagi gegara perkuliahan sabtu 20 sept'14 kemaren, dosen mata kuliah 'menulis kreatif' kasih tugas bikin blog, jadi baru ketengok lagi deh... :D
Perkuliahan semester 7 ini lumayan berat, selain kelas dimulai dari jam 3-9 malem (maklum ekstensi) jadi hawanya udah ngantuk2 gimanaaa gituu (malem bin dingin ;p ), semester ini pun saya sudah harus mempersiapkan materi yang mau saya jadikan sebagai bahan skripsi di semester akhir nanti. Jujur udah ada pandangan mau bikin pake metode penelitian apa, tapi masih bingung pemaparannya... Hiiks..Hiikss....
Udah gak bisa main-main lagi nih,,, udah ga bisa lagi full fokus ma game Hay Day :)))
Gak papa deh levelnya gak naik-naik, yang penting bisa lulus tepat waktu... Aamiin O:)
Harapan LULUS dengan hasil yang gak biasa-biasa aja... KeepSpirittt....
Ganbatte... yyeeeeaaaaa..... ;) :*
Perkuliahan semester 7 ini lumayan berat, selain kelas dimulai dari jam 3-9 malem (maklum ekstensi) jadi hawanya udah ngantuk2 gimanaaa gituu (malem bin dingin ;p ), semester ini pun saya sudah harus mempersiapkan materi yang mau saya jadikan sebagai bahan skripsi di semester akhir nanti. Jujur udah ada pandangan mau bikin pake metode penelitian apa, tapi masih bingung pemaparannya... Hiiks..Hiikss....
Udah gak bisa main-main lagi nih,,, udah ga bisa lagi full fokus ma game Hay Day :)))
Gak papa deh levelnya gak naik-naik, yang penting bisa lulus tepat waktu... Aamiin O:)
Harapan LULUS dengan hasil yang gak biasa-biasa aja... KeepSpirittt....
Ganbatte... yyeeeeaaaaa..... ;) :*
Minggu, 06 November 2011
S E M A N T I K
1. DEFINISI
Kata semantik berasal dari bahasa Yunani sema yang artinya tanda atau lambang (sign). “Semantik”
pertama kali digunakan oleh seorang filolog Perancis bernama Michel Breal pada
tahun 1883. Kata semantik kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan
untuk bidang linguistik yang mempelajari tentang tanda-tanda linguistik dengan
hal-hal yang ditandainya. Oleh karena itu, kata semantik dapat diartikan
sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari tiga
tataran analisis bahasa: fonologi, gramatika, dan semantik (Abdul Chaer, 1994:
2).
Dalam analisis semantik juga harus disadari, karena bahasa itu bersifat
unik, dan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan masalah budaya maka,
analisis suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja, tetapi tidak dapat
digunakan untuk menganalisis bahasa lain. Umpamanya, kata ikan dalam bahasa Indonesia merujuk pada jenis binatang
yang hidup dalam air dan biasa dimakan sebagai lauk; dan dalam bahasa Inggris
separan dengan fish. Tetapi
kata iwak dalam bahasa
Jawa bukan hanya berarti ‘ikan’ atau ‘fish’, melainkan juga berarti daging yang
digunakan sebagai lauk.
2. HAKIKAT MAKNA
Menurut teori yang dikembangkan dari pandangan Ferdinand de Saussure, makna adalah ‘pengertian’ atau ‘konsep’ yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda-linguistik. Menurut de Saussure, setiap tanda linguistik terdiri dari dua unsur, yaitu (1) yang diartikan dan (2) yang mengartikan.
Menurut teori yang dikembangkan dari pandangan Ferdinand de Saussure, makna adalah ‘pengertian’ atau ‘konsep’ yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda-linguistik. Menurut de Saussure, setiap tanda linguistik terdiri dari dua unsur, yaitu (1) yang diartikan dan (2) yang mengartikan.
Yang diartikan
sebenarnya tidak lain dari pada konsep atau makna dari sesuatu tanda-bunyi.
Sedangkan yang mengartikan adalah bunyi-bunyi yang terbentuk dari fonem-fonem
bahasa yang bersangkutan. Dengan kata lain, setiap tanda-linguistik terdiri
dari unsur
bunyi dan unsur makna. Kedua unsur ini adalah unsur dalam bahasa (intralingual) yang biasanya merujuk atau mengacu
kepada sesuatu referen yang merupakan unsur luar-bahasa (ekstralingual).
Sebuah kata, misalnya buku, terdiri atas unsur lambang bunyi yaitu [b-u-k-u]
dan konsep atau citra mental benda-benda (objek) yang dinamakan buku. Menurut Ogden dan Richards (1923), dalam karya klasik tentang “teori semantik segi tiga” , kaitan antara lambang, citra
mental atau konsep, dan referen atau objek dapat dijelaskan dengan gambar dan
uraian sebagai berikut:
Makna kata buku adalah konsep buku yang tersimpan dalam otak kita
dan dilambangkan dengan kata buku. Gambar di atas menunjukkan bahwa di antara
lambang bahasa dan konsep terdapat hubungan langsung, sedangkan lambang
bahasa dengan referen atau objeknya tidak berhubungan langsung
(digambarkan dengan garis putus-putus) karena harus melalui konsep. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa semantik mengkaji makna tanda bahasa, yaitu
kaitan antara konsep dan tanda bahasa yang melambangkannya.
3. JENIS MAKNA
Menurut Abdul Chaer (1994), makna dapat dibedakan berdasarkan beberapa
kriteria dan sudut pandang.
3.1 Berdasarkan jenis semantiknya, dapat
dibedakan menjadi :
Makna
Leksikal dan Makna Gramatikal
Makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai
dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam
kehidupan kita (Abdul Chaer, 1994). Umpamanya kata “tikus” makna leksikalnya
adalah sebangsa binatang pengerat yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit
tifus. Makna ini tampak jelas dalam kalimat Tikus itu mati diterkam
kucing, atau Panen kali ini
gagal akibat serangan hama tikus.
Makna leksikal biasanya
dipertentangkan dengan makna gramatikal. Kalau makna leksikal berkenaan dengan
makna leksem (satuan bentuk bahasa yang bermakna) atau kata yang sesuai dengan
referennya, maka makna gramatikal ini adalah makna yang hadir sebagai akibat
adanya proses gramatika seperti proses afiksasi, proses reduplikasi, dan proses
komposisi (Abdul Chaer, 1994). Proses afiksasi awalan ter- pada kata angkat dalam kalimat Batu
seberat itu terangkat juga oleh adik,
melahirkan makna ’dapat’, dan dalam
kalimat Ketika balok itu ditarik, papan itu terangkat ke
atas melahirkan makna gramatikal ’tidak sengaja’.
3.2
Berdasarkan ada atau tidaknya referen pada sebuah kata atau leksem dapat
dibedakan menjadi :
Makna
Referensial dan Nonreferensial
Perbedaan makna referensial dan
makna nonreferensial berdasarkan ada tidak referen dari kata-kata itu. Bila kata-kata
itu mempunyai referen, yaitu sesuatu di luar bahasa yang diacu oleh kata itu,
maka kata tersebut disebut kata bermakna
referensial. Kalau kata-kata itu tidak mempunyai referen, maka kata itu disebut
dengan kata bermakna nonreferensial. Kata meja termasuk kata yang bermakna referensial karena
mempunyai referen, yaitu sejenis perabot rumah tangga yang disebut ’meja’.
Sebaliknya kata karena tidak
mempunyai referen, jadi kata karena termasuk kata yang bermakna nonreferensial.
Dari penjelasan tersebut, maka
dapat kita ambil kesimpulan bahwa makna referensial contohnya adalah
benda-benda konkret (berwujud), sedangkan untuk contoh makna non-referensial adalah
kata-kata yang tidak memiliki referen (gambaran).
3.3
Berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata/leksem dapat
dibedakan adanya :
Makna
Denotatif dan Konotatif
Makna denotatif pada dasarnya sama
dengan makna referensial sebab makna denotatif
lazim diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi
menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya. Jadi, makna denotatif ini menyangkut
informasi-informasi faktual objektif. Oleh karena itu, makna denotasi sering
disebut sebagai ‘makna sebenarnya’ (Abdul
Chaer, 1994). Umpama kata perempuan dan
wanita kedua kata itu mempunyai
dua makna yang sama, yaitu ‘manusia
dewasa bukan laki-laki’.
Sebuah kata disebut mempunyai makna
konotatif apabila kata itu mempunyai “nilai rasa”, baik positif maupun negatif.
Jika tidak memiliki nilai rasa maka dikatakan tidak memiliki konotasi.
Tetapi dapat juga disebut berkonotasi netral. Makna konotatif dapat juga
berubah dari waktu ke waktu. Misalnya kata ‘ceramah’ dulu kata ini berkonotasi negatif karena berarti ‘cerewet’, tetapi sekarang konotasinya
positif.
Contoh lain adalah kata kurus, ramping dan kerempeng
(Abdul Chaer 2007). Pada dasarnya ketiga kata tersebut secara denotatif
mempunyai makna yang sama atau bersinonim, tetapi ketiganya memiliki konotasi
yang tidak sama; kurus berkonotasi
netral, ramping berkonotasi positif,
dan kerempeng berkonotasi negatif.
3.4
Berdasarkan ketepatan maknanya dikenal dengan :
Makna Kata
dan Makna Istilah (Makna Umum dan Makna
Khusus)
Setiap kata atau leksem memiliki makna, namun dalam penggunaannya makna
kata itu baru menjadi jelas kalau kata itu sudah berada di dalam konteks
kalimatnya atau konteks situasinya. Berbeda dengan kata, istilah mempunyai makna yang jelas, yang pasti, yang tidak
meragukan, meskipun tanpa konteks kalimat. Oleh karena itu sering dikatakan
bahwa istilah itu
bebas konteks. Hanya perlu diingat bahwa sebuah istilah hanya digunakan pada
bidang keilmuan atau kegiatan tertentu. Perbedaan antara makna kata dan
istilah dapat dilihat dari contoh berikut :
(1) Tangannya luka kena pecahan kaca.
(2) Lengannya luka kena pecahan kaca.
Kata tangan dan lengan pada kedua kalimat di atas adalah bersinonim atau
bermakna sama. Namun dalam bidang kedokteran kedua kata itu memiliki makna yang
berbeda. (1) Tangan bermakna
bagian dari pergelangan sampai ke jari tangan, sedangkan (2) lengan
adalah bagian dari pergelangan sampai ke
pangkal bahu.
Contoh lain adalah kuping dan telinga (Abdul Chaer 2007). Dalam bahasa umum kedua kata itu
merupakan dua kata yang bersinonim, dan oleh karena itu sering dipertukarkan.
Tetapi sebagai istilah dalam bidang kedokteran keduanya memiliki makna yang
tidak sama : kuping adalah bagian
yang terletak di luar, termasuk daun telinga; sedangkan telinga adalah bagian sebelah dalam. Maka itu, yang biasanya
diobati oleh dokter adalah telinga
bukan kuping.
3.5
Berdasarkan kriteri lain atau sudut pandang lain dapat disebutkan adanya
:
3.5.1 Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Leech (1976) membagi makna menjadi makna konseptual dan makna asosiatif.
Yang dimaksud dengan makna konseptual
adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari konteks atau
asosiasi apa pun. Kata kuda memiliki
makna konseptual ‘sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai’. Jadi
makna konseptual sesungguhnya sama saja dengan makna leksikal, makna denotatif,
dan makna referensial.
Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata
berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang berada di luar
bahasa. Misalnya, kata melati berasosiasi
dengan sesuatu yang ‘suci’ atau ‘kesucian’; kata merah berasosiasi dengan ‘berani’ atau juga ‘paham komunis’.
3.5.2 Makna Idiomatikal dan Peribahasa
Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat ”diramalkan” dari
makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Contoh
dari idiom adalah bentuk membanting tulang dengan makna ’bekerja keras’, meja
hijau dengan makna ’pengadilan’.
Berbeda dengan idiom, peribahasa memiliki makna yang masih dapat ditelusuri
atau dilacak dari makna unsur-unsurnya karena adanya “asosiasi” antara makna
asli dengan maknanya sebagai peribahasa. Umpamanya peribahasa Seperti
anjing dengan kucing yang bermakna
‘dikatakan ihwal dua orang yang tidak pernah akur’. Makna ini memiliki
asosiasi, bahwa binatang yang namanya anjing dan kucing jika bersua memang
selalu berkelahi, tidak pernah damai.
3.5.2 Makna Kias
Dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan
istilah arti kiasan digunakan sebagai oposisi dari arti sebenarnya. Oleh karena
itu, semua bentuk bahasa (baik kata, frase, atau kalimat) yang tidak merujuk
pada arti sebenarnya (arti leksikal, arti konseptual, atau arti denotatif)
disebut mempunyai arti kiasan. Jadi, bentuk-bentuk seperti puteri
malam dalam arti ’bulan’, raja
siang dalam arti ’matahari’. Dan
menurut Kamus Bahasa Indonesia Online (http://kamusbahasaindonesia.org) Kias memiliki arti [n] (1)
perbandingan (persamaan); ibarat; contoh analogi: kata ‘pemuda-pemudi’
sebenarnya mengambil kata ‘putra-putri’.
4. RELASI MAKNA
Relasi makna adalah hubungan semantik yang
terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa lainnya.
Berikut ini diuraikan beberapa wujud relasi
makna :
4.1 Sinonim
Secara semantik Verhaar (1978)
mendefinisikan sinonimi sebagai ungkapan (bisa berupa kata, frase, atau
kalimat) yang maknanuya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain. Umpamanya
kata buruk dan jelek adalah du buah kata yang bersinonim; bunga, kembang, dan
puspa adalah tiga kata yang yang bersinonim. Hubungan makna antara dua buah
kata yang bersinonim bersifat dua arah. Namun, dua buah kata yang bersinonim
itu; kesamaannya tidak seratus persen, hanya kurang lebih saja. Kesamaannya
tidak bersifat mutlak.
Contoh lain (Abdul Chaer 2007)
4.2 Antonim
Secara semantik Verhaar (1978) mendefenisikan antonimi sebagai: Ungkapan
(biasanya berupa kata, tetapi dapat pula dalam bentuk frase atau kalimat) yang
maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain. Misalnya kata bagus yang berantonimi dengan kata buruk ; kata besar berantonimi dengan kata kecil.
Sama halnya dengan sinonim, antonim pun tidak bersifat mutlak. Itulah
sebabnya dalam batasan di atas, Verhaar menyatakan “…yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain” Jadi,
hanya dianggap kebalikan. Bukan mutlak berlawanan.
Sehubungan dengan ini banyak pula yang
menyebutnya oposisi makna. Dengan istilah oposisi, maka bisa tercakup dari
konsep yang betul-betul berlawanan sampai kepada yang bersifat kontras saja.
Kata hidup dan mati, mungkin bisa menjadi contoh yang berlawanan; tetapi hitam dan putih mungkin merupakan contoh yang hanya berkontras.
Contoh lain (Abdul Chaer 2007); kata berdiri berantonim dengan kata duduk, tidur, tiarap, jongkok, bersila.
4.3 Homonimi,
Homofoni, dan Homografi
Homonimi adalah dua buah kata atau satuan
ujaran yang bentuknya “kebetulan” sama, tetapi memiliki makna yang berbeda.
Contohnya adalah kata bisa yang
berarti ‘racun ular’ dan kata bisa
yang berarti ‘sanggup’.
Homofoni adalah adanya kesamaan bunyi (fon) antara
dua satuan ujaran, tanpa memperhatikan ejaanya, apakah ejaanya sama ataukah
berbeda. Contoh dalam kata bank
‘lembaga keuangan’ kata bang (bentuk
singkatan dari abang) yang bermakna ‘kakak laki-laki’.
Dan homograf adalah kata-kata yang ditulis sama,
tetapi memiliki makna yang berbeda. Contohnya pada kata tahu ‘makanan’ dengan kata tahu
yang berarti ‘paham’.
4.4 Hiponimi
dan Hipernimi
Hiponimi adalah
‘relasi makna yang berkaitan dengan peliputan makna spesifik dalam makna
generis’; seperti makna anggrek dalam makna bunga, makna kucing dalam makna
binatang. Anggrek, mawar, dan tulip berhiponimi dengan bunga; sedangkan kucing,
kambing, dan kuda berhiponimi dengan binatang. Bunga merupakan
superordinat (hipernimi, hiperonim) bagi anggrek, mawar, dan tulip, sedangkan
binatang menjadi superordinat bagi kucing, kambing, dan kuda.
4.5 Polisemi
Polisemi lazim diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga
frase) yang memiliki makna lebih dari
satu. Umpamanya kata kepala dalam bahasa Indonesia memiliki makna (1)
bagian tubuh dari leher ke atas; (2) bagian dari suatu yang terletak disebelah
atas atau depan merupakan hal yang penting atau terutama seperti pada kepala susu, kepala
meja, dan kepala kereta api;
(3) bagian dari suatu yang berbentuk bulat seperti kepala, seperti pada kepala
paku dan kepala jarum; (4) pemimpin atau ketua seperti pada kepala
sekolah, kepala kantor, dan kepala
stasiun; (5) jiwa atau orang seperti dalam
kalimat Setiap kepala menerima bantuan Rp 5000,-.; dan (6) akal budi seperti dalam kalimat, Badannya
besar tetapi kepalanya kosong.
4.6 Ambiguitas
atau Ketaksaan
Ambiguitas atau
ketaksaan sering diartikan sebagai kata
yang bermakna ganda atau mendua arti. Kegandaan makna dalam ambiguitas
berasal dari satuan gramatikal yang lebih besar, yaitu frase atau kalimat dan
terjadi sebagai akibat penafsiran struktur gramatikal yang berbeda. Umpamanya
frase buku
sejarah baru dapat ditafsirkan
sebagai (1) buku sejarah itu baru terbit, (2) buku itu berisi sejarah zaman
baru.
4.7 Redundansi
Istilah
redundansi sering diartikan sebagai ‘berlebih-lebihan pemakaian unsur segmental
dalam suatu bentuk ujaran’. Umpamanya kalimat Bola ditendang Si Badrih, maknanya tidak akan berubah bila
dikatakan Bola ditendang oleh Si Badrih.
Pemakaian kata ‘oleh’ pada kalimat kedua dianggap sebagai sesuatu yang
redundansi, yang berlebih-lebihan dan sebenarnya tidak perlu.
4.8 Meronimi
Meronimi adalah ’relasi makna yang memiliki kemiripan dengan hiponimi
karena relasi maknanya bersifat hierarkis, namun tidak menyiratkan pelibatan
searah, tetapi merupakan relasi makna bagian dengan keseluruhan’. Contohnya
adalah atap bermeronimi dengan rumah.
4.9 Makna
Asosiatif
Makna asosiatif merupakan asosiasi yang muncul dalam benak seseorang jika
mendengar kata tertentu. Asosiasi ini dipengaruhi unsur-unsur psikis,
pengetahuan dan pengalaman seseorang. Oleh karena itu, makna asosiatif terutama
dikaji bidang psikolinguistik. Makna denotatif villa adalah ’rumah
peristirahatan di luar kota’. Selain makna denotatif itu, bagi kebanyakan
orang Indonesia villa juga mengandung makna asosiatif ’gunung’, ’alam’,
’pedesaan’, ’sungai’, bergantung pada pengalaman seseorang.
4.10 Makna
Afektif
Makna afektif berkaitan dengan perasaan seseorang jika mendengar atau
membaca kata tertentu. Perasaan yang muncul dapat positif atau negatif. Kata
jujur, rendah hati, dan bijaksana menimbulkan makna afektif yang positif,
sedangkan korupsi dan kolusi menimbulkan makna afektif yang negatif.
4.11 Makna
Etimologis
Makna etimologis berbeda dengan makna leksikal karena berkaitan dengan
asal-usul kata dan perubahan makna kata dilihat dari aspek sejarah kata. Makna
etimologis suatu kata mencerminkan perubahan yang terjadi dengan kata tertentu.
Melalui perubahan makna kata, dapat ditelusuri perubahan nilai, norma, keadaan
sosial-politik, dan keadaan ekonomi suatu masyarakat.
5. PERUBAHAN MAKNA
Makna sebuah kata atau leksem tidak
akan beribah, tetapi secara daikronis ada kemungkinan dapat berubah. Maksudnya,
dalam masa yang relatif singkat, makna sebuah kata akan tetap sama. Dan ini
tidak berlaku untuk semua kosa kata yang terdapat dalam sebuah bahasa,
melainkan hanya terjadi pada sejumlah kata saja yang disebabkan oleh faktor :
1. Perkembangan
dalam bidang ilmu dan teknologi
Umpamanya kata sastra,
pada mulanya bermakna ‘tulisan, huruf’; lalu berubah menjadi bermakna ‘bacaan’;
kemudian berubah lagi menjadi bermakna ‘buku yang baik isinya dan baik pula
bahasanya’.
2. Perkembangan
sosial budaya
Misalnya kata saudara, pada mulanya berarti ‘seperut’ atau ‘orang yang lahir dari
kandungan yang sama’, tetapi kini digunakan untuk ‘menyebut orang lain sebagai
kata sapaan yang diperkirakan sederajat baik usia maupun kedudukan sosial’.
3. Perkembangan
pemakaian kata
Umpamanya kata menggarap
dari bidang pertanian (dengan segala bentuk derivasinya, seperti garapan, penggarap, tergarap, dan penggarapan) digunakan juga dalam bidang
lain dengan makna’mengerjakan atau membuat’.
4. Pertukaran
Tanggapan Indra
Misalnya, rasa pedas yang seharusnya ditanggap oleh alat indra perasa lidah
menjadi ditanggap oleh alat pendengar telinga, seperti dalam ujaran kata-katanya sangat pedas.
5. Pertukaran
Asosiasi atau Adanya Asosiasi
Contohnya adalah kata amplop. Makna amplop sebenarnya adalah sampul surat, tetapi dalam kalimat ‘Supaya
urusan cepat beres, beri saja amplop’,
amplop disini bermakna ‘uang sogok’.
Macam-macam perubahan makna :
1. Perubahan
yang meluas
Contoh : kata baju, pada mulanya bermakna ‘pakaian sebelah atas dari pinggang
sampai ke bahu’, tetapi dalam kalimat ‘Murid-murid itu memakai baju seragam’, yang dimaksud bukan hanya
baju, tetapi juga celana, sepatu, dasi, dan topi.
2. Perubahan
yang menyempit
Contoh : kata sarjana, pada mulanya bermakna ‘orang cerdik, pandai’, tetapi kini
hanya bermakna ‘lulusan perguruan tinggi’ saja.
3. Perubahan
makna secara total
Contoh : kata pena, pada mulanya berarti ‘bulu angsa’, tetapi kini hanya bermakna
‘alat tulis bertinta’.
6. MEDAN
MAKNA DAN KOMPONEN MAKNA
1. Medan
Makna
Medan makna adalah seperangkat
unsur lesikal yang maknanya saling berhubungan karena menggambarkan bagian dari
bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu. Misalnya nama-nama
warna, dalam medan warna dalam bahasa Indonesia mengenal nama merah, biru,
kuning, hijau, biru, dsb. Untuk menyatakan nuansa warna yang berbeda dalam
bahasa Indonesia memberi keterangan perbandingan, seperti merah darah, merah
bata, dan merah jambu.
2. Komponen
Makna
Komponen Makna, pendekatan ini
didasarkan kepada kepercayaan bahwa makna kata dapat dipecah-pecah menjadi
elemen-elemen. Dan elemen-elemen itu disebut dengan komponen makna. Biasanya
disajikan dengan cara memberi tanda ( + ) yang berarti memiliki komponen makna
tersebut, dan tanda ( - ) berarti tidak memiliki makna tersebut.
Agar lebih jelas, dapat kita lihat
pada bagan berikut :
Komponen
Makna
|
Gadis
|
Jejaka
|
Bernyawa
|
+
|
+
|
Manusia
|
+
|
+
|
Kawin
|
-
|
-
|
Pria
|
-
|
+
|
Selasa, 30 Agustus 2011
:)(: Makna CINTA :)(:
Sebenarnya apa sih makna CINTA yang sesungguhnya???
Terlalu banyak persepsi tentang CINTA....
dan terlalu banyak definisi yang ditimbulkan karenanya....
Yang pasti Cinta itu bikin kita bahagia, senang, Namun terkadang Cinta juga bisa bikin kita sedih, kecewa bahkan mungkin sampai terpuruk oleh keadaan karenanya....
Ironis yaaa.... Kata yang sangat indah & bermakna luas, namun memiliki dampak yang negatif juga....
Pada dasarnya sih tergantung individunya... Sejauh mana kita bisa menempatkan posisi Cinta dengan tepat....
Yang terpenting adalah menCINTAi seseorang dengan mengharap Ridho Illahi, agar kita mendapat restu dari-NYA & hubungan yang terjalin berdasarkan Cinta yang sesungguhnya, yaitu Cinta yang benar-benar d'turunkan ke hati kita oleh-NYA, bukan oleh nafsu semata... :)
Dan yang teramat sangat penting ialah Mencintai seseorang tidak melebihi rasa Cinta kita kepada Sang Pencipta....
Cinta kepada sesama dapat pudar seiring berjalannya waktu, dan kita dapat merasa tersakiti & dikecewakan oleh nya, tapi Cinta kepada Illahi bersifat abadi & kekal, dan DIA tak pernah mengecewakan bahkan sampai menyakiti, Tak akan pernah!!!!
Cintailah Tuhan mu d'atas Cinta mu kepada Ibu-Bapak mu, karena dengan begitu kita akan menyayangi Ibu-Bapak kita demi mengharap Cinta dari Sang Illahi...
Dan Cintailah Kekasih mu d'bawah Cinta Ibu-Bapak mu.... (Silahkan ambil kesimpulan sendiri tentang kalimat ini... ;p )
Have a nice day....
~Selamat Menyambut Hari Nan Fitri... Semoga kita semua kembali ke fitrah-NYA... Aamiin Ya Robbal Alaamiin.. :) ~
Terlalu banyak persepsi tentang CINTA....
dan terlalu banyak definisi yang ditimbulkan karenanya....
Yang pasti Cinta itu bikin kita bahagia, senang, Namun terkadang Cinta juga bisa bikin kita sedih, kecewa bahkan mungkin sampai terpuruk oleh keadaan karenanya....
Ironis yaaa.... Kata yang sangat indah & bermakna luas, namun memiliki dampak yang negatif juga....
Pada dasarnya sih tergantung individunya... Sejauh mana kita bisa menempatkan posisi Cinta dengan tepat....
Yang terpenting adalah menCINTAi seseorang dengan mengharap Ridho Illahi, agar kita mendapat restu dari-NYA & hubungan yang terjalin berdasarkan Cinta yang sesungguhnya, yaitu Cinta yang benar-benar d'turunkan ke hati kita oleh-NYA, bukan oleh nafsu semata... :)
Dan yang teramat sangat penting ialah Mencintai seseorang tidak melebihi rasa Cinta kita kepada Sang Pencipta....
Cinta kepada sesama dapat pudar seiring berjalannya waktu, dan kita dapat merasa tersakiti & dikecewakan oleh nya, tapi Cinta kepada Illahi bersifat abadi & kekal, dan DIA tak pernah mengecewakan bahkan sampai menyakiti, Tak akan pernah!!!!
Cintailah Tuhan mu d'atas Cinta mu kepada Ibu-Bapak mu, karena dengan begitu kita akan menyayangi Ibu-Bapak kita demi mengharap Cinta dari Sang Illahi...
Dan Cintailah Kekasih mu d'bawah Cinta Ibu-Bapak mu.... (Silahkan ambil kesimpulan sendiri tentang kalimat ini... ;p )
Have a nice day....
~Selamat Menyambut Hari Nan Fitri... Semoga kita semua kembali ke fitrah-NYA... Aamiin Ya Robbal Alaamiin.. :) ~
Langganan:
Postingan (Atom)